Dan terhadap tsalatsah (3 [tiga]) orang yang ditangguhkan
(penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi
mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa)
oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari
(siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka
agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S At-Taubah ayat : 118)
Surat At-Taubah dalam Al-Qur'an merupakan surat ke-9 yang terdiri dari 129 ayat, At-Taubah artinya pengampunan, dalam surat ini di awal surat tidak terdapat kalimat Bismillahirrahmanirrahim.
Bahwa maksud dari angka 3 dalam surat At-Taubah ayat 118 adalah mengenai 3 orang yang tidak ikut perang tabuk yaitu :
Hal ini sesuai hadits riwayat Bukhari sebagai berikut :
Demikian semoga bermanfaat !
Bahwa maksud dari angka 3 dalam surat At-Taubah ayat 118 adalah mengenai 3 orang yang tidak ikut perang tabuk yaitu :
- Ka'b Ibnu Malik
- Hilal Ibnu Umayyah
- Mararah Ibu Rabi
Hal ini sesuai hadits riwayat Bukhari sebagai berikut :
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdulah bin Ka’ab
bin Malik, dia di antara anak Ka’ab yang menjadi penuntun Ka’ab ketika telah
buta. Ia berkata, “Aku mendengar Ka’ab bin Malik bercerita tentang kisah Tabuk
ketika ia tidak ikut berperang, ia berkata: Aku tidaklah meninggalkan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di peperangan apa pun selain perang
Tabuk, namun aku pernah tidak ikut pula perang Badar, tetapi Beliau tidak
mencela orang yang meninggalkannya, hal itu karena Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam keluar untuk mendatangi kafilah (dagang) Quraisy, namun
akhirnya Allah mengumpulkan mereka dengan musuhnya tanpa perjanjian terlebih
dahulu. Aku hadir bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di malam
‘Aqabah ketika Beliau membai’at kami di atas Islam, dan aku tidak suka jika ada
pengganti (yang melebihi) malam ‘Aqabah, yaitu perang Badar (menurutnya malam
‘Aqabah lebih afdhal daripada perang Badar), meskipun perang Badar lebih
dikenang oleh manusia daripada malam ‘Aqabah. Cerita saya, bahwa saya tidaklah
pernah lebih kuat dan lebih lapang daripada keadaan ketika saya meninggalkan
perang itu. Demi Allah, sesungguhnya sebelum itu tidak ada dua kendaraan sama
sekali, hingga saya berhasil mengumpulkan keduanya pada perang itu. Sudah
menjadi kebiasaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau
tidaklah hendak berperang kecuali menampakkan yang lain, termasuk dalam
peperangan itu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berangkat di waktu
yang sangat panas, menuju perjalanan yang jauh, padang pasir dan musuh yang
banyak. Maka Beliau menerangkan kepada kaum muslimin hal yang sesungguhnya agar
mereka mempersiapkan perlengkapan untuk perang itu dan memberitahukan arah mana
yang hendak Beliau tuju. Kaum muslimin yang bersama Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam jumlahnya banyak, dan mereka tidak terdaftar dalam buku
induk. Ka’ab berkata, “Oleh karena itu, tidak ada yang ingin absen kecuali dia
menduga bahwa yang demikian akan tersembunyi bagi Beliau, selama tidak turun
wahyu Allah terhadapnya.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pergi
berperang ketika buah-buah matang dan pohonnya rindang, maka bersiap-siaplah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kaum muslimin yang bersamanya.
Aku pun pergi untuk ikut bersiap-siap bersama mereka, aku pulang, namun tidak
melakukan apa-apa, maka aku berkata dalam hati, “Saya mampu melakukannya.” Hal
itu berlangsung terus hingga mereka semakin siap, maka Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam dan kaum muslimin berangkat sedangkan saya belum mempersiapkan
apa-apa,” aku pun berkata, “Saya akan bersap-siap setelahnya sehari atau dua
hari kemudian menyusul mereka.” Maka saya pergi setelah mereka jauh untuk
bersiap-siap, saya pulang namun tidak melakukan apa-apa. Saya pergi lagi dan
kembali namun belum melakukan apa-apa, dan terus menerus seperti itu sampai
mereka semakin cepat dan (saya) ketinggalan perang. Saya ingin berangkat dan
menyusul mereka. Duhai, andai saja saya melakukannya, namun tidak ditaqdirkan
buat saya, sehingga ketika saya keluar kepada orang-orang setelah kepergian
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka saya berkeliling di antara
mereka, saya pun bersedih karena tidak melihat orang selain orang yang tercela
karena kemunafikannya atau orang yang diberi uzur oleh Allah dari kalangan kaum
dhu’afa. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyebutku sampai tiba
di Tabuk. Beliau pun bersabda ketika duduk di tengah-tengah manusia di Tabuk,
“Apa yang dilakukan Ka’ab?” Maka seorang dari Bani Salamah berkata, “Wahai
Rasulullah, ia tertahan oleh kedua burdahnya dan melihat sisi tubuhnya.” Mu’adz
bin Jabal berkata, “Buruk sekali apa yang kamu katakan. Demi Allah, wahai
Rasulullah, kami tidak mengetahui tentangnya selain kebaikan.” Maka Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam diam. Ka’ab bin Malik berkata, “Ketika sampai
berita kepadaku, bahwa Beliau sedang kembali pulang, maka aku pun bersedih. Aku
mulai berpikir tentang berdusta dan berkata (dalam hati), “Bagaimana caranya
agar aku dapat lolos dari kemarahan Beliau besok? Aku pun meminta bantuan untuk
itu kepada keluargaku yang berpengalaman. Namun ketika disebutkan, bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelang tiba, maka hilanglah
(pikiran) batil dariku, dan saya mengetahui bahwa saya tidak dapat lolos
selamanya dengan sesuatu yang di sana terdapat dusta, maka saya bertekad untuk
jujur. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian datang, dan Beliau
biasanya apabila pulang dari safar, pergi ke masjid, lalu shalat di sana dua
rak’at, kemudian duduk di hadapan manusia. Ketika Beliau sedang seperti itu,
maka orang-orang yang tidak ikut berperang datang, dan mulai mengemukakan
uzurnya serta bersumpah. Jumlah mereka ada delapan puluh orang lebih, maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menerima lahiriah mereka, membai’at
mereka dan memintakan ampunan untuk mereka, serta menyerahkan rahasia mereka
kepada Allah. Aku pun datang dan mengucapkan salam kepadanya, maka Beliau
tersenyum dengan senyuman orang yang marah. Beliau bersabda, “Kemari!” maka aku
pun datang sambil berjalan dan duduk di hadapannya, dan bersabda kepadaku, “Apa
yang membuatmu tertinggal?” Bukankah kamu telah membeli kendaraanmu?” Aku
menjawab, “Ya. Sesungguhnya aku demi Allah, jika aku duduk pada selain dirimu
di antara penduduk dunia, aku yakin dapat lolos dari kemarahannya dengan suatu
alasan. Aku telah diberi kelebihan berdebat, akan tetapi demi Allah, aku tahu
bahwa jika aku menyampaikan kata-kata dusta pada hari ini kepadamu yang
membuatmu ridha dengannya, tentu Allah akan menjadikan engkau marah kepadaku.
Namun jika aku menyampaikan kata-kata jujur, maka engkau akan marah kepadaku.
Sesungguhnya aku berharap ampunan dari Allah dengan kejujuran itu. Demi Allah,
aku tidak memiliki uzur. Demi Allah, aku tidaklah lebih kuat dan lebih lapang
daripada keadaan ketika aku meninggalkanmu.” Maka Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, “Adapun orang ini, maka dia benar. Bangunlah sampai
Allah memberikan keputusan terhadapmu.” Aku pun berdiri dan beberapa orang Bani
Salamah bangkit mengikutiku. Mereka berkata kepadaku, “Demi Allah, kami tidak
mengetahui kamu melakukan dosa sebelum ini, ternyata kamu tidak berani
mengajukan uzur kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seperti uzur
yang diajukan oleh orang-orang yang tidak tertinggal lainnya (kaum munafik).
Padahal cukup bagi dosamu permohonan ampunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam untukmu.” Demi Allah, mereka senantiasa mencelaku sampai aku ingin
kembali dan berkata dusta. Lalu aku berkata kepada mereka, “Apakah ada orang
yang mengalami seperti diriku?” Mereka menjawab, “Ya. Ada dua orang yang
berkata seperti yang kamu ucapkan, kemudian dikatakan kepada keduanya seperti
yang dikatakan kepadamu.” Aku pun berkata, “Siapa keduanya?” Mereka menjawab,
“Muraarah bin Ar Rabii’ Al ‘Amriy dan Hilal bin Umayyah Al Waaqifiy.” Ternyata
mereka menyebutkan kepadaku dua laki-laki saleh yang ikut perang Badar, di mana
pada keduanya ada keteladanan. Maka aku pun tetap berjalan, ketika mereka
menyebutkan kedua orang itu kepadaku. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga dari sekian
banyak orang yang tertinggal dari perang.” Manusia pun menjauhi kami dan
berubah sikap kepada kami, sehingga berubah pula bumi dalam diriku, yang mana
bumi yang aku kenal, kami tetap seperti itu selama lima puluh malam. Sedangkan
kedua teman saya, mereka merasa hina dan duduk di rumahnya sambil menangis.
Adapun saya, maka saya adalah orang yang paling muda di antara mereka dan
paling kuat. Aku keluar, ikut shalat bersama kaum muslimin, dan berkeliling di
pasar, namun tidak ada yang mau berbicara denganku. Aku mendatangi Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan salam kepadanya, sedangkan Beliau
berada di tempat duduknya setelah shalat. Aku berkata dalam hati, “Apakah
Beliau akan menggerakkan bibirnya untuk menjawab salamku atau tidak? Lalu saya
shalat dekat dengan Beliau, sambil mencuri pandang kepada Beliau. Ketika saya
memasuki shalat, maka Beliau memandangku. Namun ketika aku menoleh ke arahnya,
maka Beliau berpaling dariku. Sehingga ketika ketidakramahan dari manusia
berlangsung lama padaku, aku pun berjalan dan menaiki tembok Abu Qatadah, dia
adalah putera pamanku dan manusia yang paling saya cintai. Aku pun mengucapkan
salam kepadanya. Demi Allah, dia tidak menjawab salamku. Aku pun berkata,
“Wahai Abu Qatadah, saya bertanya kepadamu dengan nama Allah, tahukah kamu
bahwa aku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya? Ia pun diam, dan aku mengulangi
lagi dan bertanya kepadanya sambil bersumpah, namun ia tetap diam.” Ia pun
berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Maka mengalirlah kedua mataku
dan aku pun berpaling hingga aku memanjat tembok. Ketika saya berjalan di pasar
Madinah, tiba-tiba ada seorang petani dari petani penduduk Syam yang datang
membawa makanan yang ia jual di Madinah, ia berkata, “Siapa yang mau
menunjukkanku kepada Ka’ab bin Malik?” Orang-orang segera memberi isyarat
kepadanya (yakni kepadaku). Ketika ia datang kepadaku, ia menyerahkan surat
dari raja Ghassan, dan ternyata isinya, “Amma ba’du, sesungguhnya telah sampai
berita kepadaku, bahwa kawanmu telah bersikap kasar kepadamu, dan Allah tentu
tidak akan menjadikanmu berada di negeri hina, juga tidak tersia-sia. Maka
bergabunglah dengan kami, kami akan menolongmu.” Setelah membacanya, aku berkata,
“Ini termasuk cobaan.” Aku pun pergi ke dapur, lalu aku bakar surat itu
dengannya. Hingga ketika telah berlalu 40 malam dari 50 malam, tiba-tiba utusan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang kepadaku dan berkata,
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kamu
menjauhi istrimu.” Aku pun berkata, “Apakah aku talak? Atau apa yang harus aku
lakukan?” Ia berkata, “Jauhi saja dan jangan dekati.” Beliau juga mengutus
kepada kedua kawanku seperti itu. Aku pun berkata kepada istriku, “Kembalilah
kepada keluargamu sehingga kamu tinggal bersama mereka sampai Allah
menyelesaikan masalah ini.” Ka’ab berkata, “Lalu istri Hilal bin Umayyah datang
kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Hilal bin Umayyah adalah orang yang sudah tua lagi tidak punya
apa-apa, ia tidak punya lagi pelayannya, apakah engkau tidak suka kalau aku
melayaninya?” Beliau menjawab, “Bukan begitu, tetapi jangan sampai ia
mendekatimu.” Istrinya berkata, “Demi Allah, sesungguhnya ia tidak pernah
bergerak kepada sesuatu. Demi Allah ia senantiasa menangis sejak hari itu
hingga hari ini.” Lalu sebagian keluargaku berkata kepadaku, “Kalau sekiranya
engkau meminta izin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang
istrimu sebagaimana Beliau mengizinkan kepada istri Hilal bin Umayyah untuk
melayaninya?” Aku pun berkata, “Demi Allah, aku tidak akan meminta izin kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan aku tidak tahu apa yang dikatakan
nanti oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika aku meminta izin
kepadanya, sedangkan saya seorang pemuda?” Maka setelah itu, saya tetap seperti
itu sampai sepuluh malam sehingga genaplah lima puluh malam dari sejak
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang berbicara dengan kami. Ketika
aku shalat Subuh pada malam yang kelima puluh, sedangkan aku berada di salah
satu atap rumah kami. Ketika aku sedang duduk dalam keadaan yang disebutkan
Allah itu, di mana diriku telah terasa sempit, dan bumi yang luas pun menjadi
sempit bagiku, aku pun mendengar suara keras orang yang berteriak yang muncul
dari atas gunung Sala’, “Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah.” Maka aku pun
tersungkur sujud, dan aku mengetahui bahwa kelegaan telah datang, kemudian
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan tobat dari Allah kepada
kami ketika telah selesai shalat Subuh. Lalu orang-orang datang memberi kabar
gembira kepada kami, dan datang pula orang-orang memberi kabar gembira kepada
dua sahabatku. Ada seseorang yang memacu kudanya dengan cepat kepadaku, dan ada
lagi orang yang berlari kencang menujuku dari Bani Aslam, dia naik ke atas
gunung, dan suara itu lebih cepat daripada kuda. Ketika telah datang kepadaku
orang yang aku dengar suaranya memberi kabar gembira kepadaku, aku pun melepas
kedua pakaianku dan memakaikan kepadanya karena kabar gembiranya. Demi Allah,
padahal ketika itu aku tidak memiliki selainnya. Aku pun meminjam dua baju, dan
aku pakai. Aku pun pergi kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu
orang-orang mendatangiku secara berbondong-bondong, mereka mengucapkan selamat
atau tobat saya. Mereka berkata, “Semoga tobat Allah membahagiakanmu.” Aku pun
masuk ke masjid, tiba-tiba Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sedang
duduk dengan dikerumuni manusia. Lalu Thalhah bin Ubaidillah berjalan cepat,
menyalamiku dan mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tidak ada seorang pun
dari kaum muhajirin yang bangkit kepadaku selainnya, dan aku tidak pernah
melupakannya untuk Thalhah. Ka’ab melanjutkan kata-katanya, “Ketika aku
mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku dalam keadaan mukanya
berseri-seri karena senang, “Bergembiralah dengan hari terbaik yang pernah melewati
hidupmu sejak kamu dilahirkan oleh ibumu.” Aku pun bertanya, “Apakah dari
sisimu wahai Rasulullah ataukah dari sisi Allah?” Beliau menjawab, “Tidak,
bahkan dari sisi Allah.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila
senang, mukanya berseri-seri sehingga seperti satu potong rembulan, dan kami
mengenali yang demikian dari Beliau. Ketika aku duduk di depannya, aku berkata,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya di antara tobatku adalah saya akan mengeluarkan
sedekah kepada Allah dan kepada Rasulullah dari harta saya.” Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tahanlah sebagian hartamu, yang
demikian lebih baik bagimu.” Aku pun berkata, “Sesungguhnya saya menahan bagian
saya yang ada di Khaibar.” Saya juga berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah
menyelamatkanku karena kejujuran, dan termasuk (kesempurnaan) tobat saya adalah
saya tidak berbicara kecuali benar selama aku masih hidup.” Demi Allah, aku
tidak mengetahui seorang pun dari kaum muslimin yang diberi nikmat oleh Alah
tentang kejujuran bicara sejak aku sebutkan hal itu kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam yang lebih baik dari nikmat yang diberikan-Nya
kepadaku. Sejak aku sebutkan hal itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam aku tidak pernah sengaja berdusta sampai hari ini. Saya pun berharap
kepada Allah agar Dia menjaga saya selama saya masih hidup, dan Allah pun
menurunkan ayat kepada Rasul-Nya,
Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi,
orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa
kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah
menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan
taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal
bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta
mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah,
melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka
tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi
Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan
hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (Q.S At-Taubah ayat : 117 – 119)
Demi Allah, Allah tidaklah memberi nikmat
kepadaku suatu nikmat yang lebih besar setelah aku ditunjuki-Nya kepada Islam
daripada kejujuranku kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, di mana
aku tidak berdusta kepadanya, yang membuatku binasa sebagaimana orang-orang
yang berdusta binasa. Sesungguhnya Allah berfirman kepada mereka yang berdusta
ketika Dia menurunkan wahyu dengan seburuk-buruk ucapan yang difirmankan-Nya
kepada seseorang,
Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama
Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka.
Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan
tempat mereka jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan Mereka
akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya
kamu ridha kepada mereka, sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang
yang fasik itu. (Q.S At-Taubah ayat : 95 – 96)
Ka’ab berkata, “Kami bertiga ditangguhkan dari
perkara orang-orang yang telah diterima oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam ketika mereka berani bersumpah kepada Beliau. Beliau membai’at mereka,
memintakan ampunan dan menangguhkan urusan kami sehingga Allah memutuskannya.
Oleh karena itulah, Allah berfirman,
dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan
(penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi
mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa)
oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari
(siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka
agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S At-Taubah ayat : 118)
Dan yang disebutkan Allah itu bukan
ketertinggalan kami dari peperangan, tetapi penangguhan oleh Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam kepada kami dan pengakhiran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam terhadap urusan kami dari orang-orang yang telah bersumpah serta
mengajukan uzurnya kepada Beliau dan Beliau telah menerimanya.” (HR. Bukhari)